Cari Dari Blog Ini

Pages

KAIDAH / QOWA'ID FIQHIYYAH : Perbedaan dengan Ushuliyah, Sejarah dan Kitab Referensi

Rabu, 09 November 2011

PERBEDAAN ANTARA KAIDAH USHULIYYAH DENGAN KAIDAH FIQHIYYAH

Yang pertama kali membedakan kaidah ushul fiqh dan kaidah fiqh adalah al-Qurafi yang menyatakan bahwa syariah ada dua hal, yaitu: ushul fiqh dan kaidah kulliyah fiqiyah.
Persamaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqih terletak pada:
Keduanya memudahkan mujtahid untuk melakukan istinbath dan ijtihad hukum.
Keduanya merupakan prinsip umum yang mencakup masalah-masalah dalam kajian syari'ah.

Lebih jauh lagi Ali al-Nadwi memperinci perbedaan antara kaidah fiqh dan ushul fiqh, yaitu:
QU adalah pedoman untuk melakukan istinbath (pengambilan) hukum syar'iyah amaliah dari dalil (QU bukan suatu hukum, ia adalah alat untuk menuju kepada kesimpulan dari dalil suatu hukum syar'i). Sedangkan, QF adalah suatu susunan lafadz yang mengandung makna hukum syara’ aghlabiyyah/umum yang mencakup di bawahnya banyak furu'. QF adalah operasionalisasi dari QU.
Kaidah ushul dalam teksnya tidak mengandung asrarus syar'i (rahasia-rahasia syar'i) tidak pula mengandung hikmah syar'i. Sedangkan kaidah fiqih dari teksnya terkandung kedua hal tersebut.
Kaidah ushul kaidah yang menyeluruh (kaidah kulliyah) dan mencakup seluruh furu' di bawahnya. Sehingga istitsna'iyyah (pengecualian) hanya ada sedikit sekali atau bahkan tidak ada sama sekali. Berbeda dengan kaidah fiqih yang banyak terdapat istitsna'iyyah, karena itu kaidahnya kaidah aghlabiyyah (kaidah umum).
Kaidah ushul berdasar kepada tiga ilmu, yaitu : Ilmu Bahasa Arab, Ilmu Syari'ah dan Ilmu Mantiq. Adapun kaidah fiqih bermacam-macam sumbernya, dapat bersumber kepada Qur'an atau Sunnah, Ijma, kesimpulan induktif dan hukum-hukum ijtihad yang lainnya dengan dasar kesamaan dan kemiripan dalam kaidah.
Perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqih pun bisa dilihat dari maudhu'nya (objek). Jika Kaidah ushul maudhu'nya dalil-dalil hukum. Sedangkan kaidah fiqih maudhu'nya perbuatan mukallaf, baik itu pekerjaan atau perkataan. Seperti sholat, zakat dan lain-lain.
QU muncul sebelum furu'/fiqh (deduktif), sedangkan QF muncul setelah furu'/fiqh (induktif).

SEJARAH KAIDAH FIQH
Fase Pertumbuhan dan Pembentukan
Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama 3 abad lebih dari zaman kerasulan hingga abad ketiga hijrah, periode ini dari segi fase sejarah hukum Islam, yaitu: zaman Nabi Muhammad SAW yang berlangsung selama 22 tahun lebih (610 – 632 Masehi / 12 SH – 10 H), zaman Sahabat selama 90 tahun (633-723 M / 11-100 H), zaman Tabi'in serta Tabi'ut Tabi'in yang berlangsung selama 250 tahun (724 – 974 M / 100 – 351 H).
Masa ini diklasifikasikan sebagai ide dasar mengapa kemudian para Imam memandang perlunya dibentuk suatu ilmu Qowa’id Fiqhiyah. Allah memberikan karunia kepada Nabi, Sahabat dan Tabi’in berupa perkataan yang singkat dan padat tetapi sarat dengan makna (Jawami’il Kalim). Atas ciri dasar tersebut, ulama menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqh. Seperti, hadis yang berbunyi :
لا ضرر ولا ضرار
“Tidak boleh berbuat dharar terhadap diri sendiri dan orang lain”
البينة على المدعي واليمين على من انكر
“Bukti dibebankan bagi terdakwa sedangkan sumpah dibebankan kepada terdakwa”
مقاطع الحقوق عند الشروط
“Terputusnya (ketetapan) hak tergantung pada syarat”
Fase Perkembangan dan Kodifikasi
Dalam sejarah hukum Islam abad 4 H dikenal sebagai zaman taqlid, pada zaman ini, sebagian ulama besar melakukan tarjih pendapat madzhabnya masing-masing yang dilakukan ulama pengikut madzhab adalah Ilhaq (melakukan analogi).
Menurut Ibn Khaldun, ketika madzhab tiap imam fiqh menjadi imam khusus bagi para pengikutnya dan tidak ada jalan untuk melakukan ijtihad, maka ulama melakukan tandzir masalah yang dihubungkan serta memilahnya saat terjadi ketidakjelasan.
Dengan cara tandzir dan isytibah fiqh dikembangkan kemudian ulama melakukan cara-cara baru dalam ilmu fiqh yang disebut al-Qowaid, al-dhawabith atau al-furuq. Menurut Ibnu Nujaim, madzhab Hanafi dikenal sebagai aliran pertama yang memperkenalkan ilmu ini. Dikatakan bahwa Abu Thahir Al-Dabbas pada abad ke-4 hijriyah adalah orang pertama yang mengumpulkan paling tidak ada tujuh belas kaidah. Diantaranya adalah 5 Qowa’idul Kubro.
Dari kaidah-kaidah tersebut kemudian disempurnakan oleh Abu Hasan al-Karakhi (340 H). Kemudian pada abad ke-5 ada kitab “Ta’sisun Nadhar” karya Imam Abu Zaid al-Dabbusi (430 H) yang ditemukan, yang merupakan penambahan terhadap kaídah yang dikumpulkan oleh Abu Hasan al-Karakhi.
Penulisan ilmu kaidah ini mulai marak pada abad ke-7 H. Sehingga pada abad ke 8 H penulisan dan pembukuan kaidah fiqhiyah mencapai masa keemasan. dan Ulama syafi’iyyah dianggap paling produktif dalam hal ini.
Semangat pembukuan mencapai puncaknya pada abad ke-10 H, yaitu ketika masa al-Suyuthi (w. 910), dalam kitabnya al-Asybah wa al-Nazair ia mencoba menyederhanakan lagi kaidah-kaidah yang ditulis para pendahulunya, seperti al-Ala’y, al-Subky, al-Zarkasyi, yaitu kitab yang mermbahas tentang kaidah tetapi masih bercampur dengan kaídah ushul fiqh.

Periode Ketiga: Kematangan dan Penyempurnaan
Setelah melewati pembahasan singkat diatas maka sampailah pada suatu kesimpulan bahwa kaídah pada awalnya hanyalah sebuah wacana yang muncul dikalangan pembesar Tabi’in dan para Mujtahid, kemudian diterima dan diteruskan oleh oleh para pengikut dan pendukungnya. Sekalipun ditulis sejak lama kaidah fiqh masih bercampur dengan disiplin ilmu lainnya. Qaidah Fiqhiyyah ini mencapai kematangan setelah munculnya Majallah al-Ahkam al-Adliyyah pada akhir abad ke-13 yang juga digunakan sebagai sumber hukum dibeberapa Mahkamah. Majallat ini dikerjakan oleh tim ahli fiqh pada masa pemerintahan Sultan al-Ghazi Abdul Aziz Khan al-Utsmani, yaitu Lajnah Fuqoha Utsmaniah, para fuqoha merangkum dan memilih kaidah fiqh dari sumbernya Majmu Al-Haqa'iq dan Ibn Nujaim.


KITAB KAIDAH FIQH PADA TIAP MADZHAB
Mazhab Hanafiyah
Abu Thahir ad-Dibbas, 17 kaidah, disempurnakan oleh Imam Abu Hasan al-Karakhy menjadi 37 kaidah.
Imam Abu Zaid Abdullah Ibnu Umaruddin ad-Dabbusy al Hanafy, “Ta’sisun Nadhar” : kaidah fiqh dan perinciannya.
Zainal Abidin Ibnu Ibrahim al-Mishry (926-970), “al-Asyba’ wan Nadhoir” : 25 kaidah: 6 kaidah asasiyah, 19 kaidah memuat maudhu’ yang berbeda-beda dan keterangan mendetail dalam bentuk hukum furu’ yang praktis.
Ahmad Ibnu Muhammad al-Hamawy (abad 11), “Ghamzu Uyuil Bashair” : syarah kitab diatas. (Mushlish Usman, 1997: 101)

Mazhab Malikiyyah

Muhammad bin Abdullah bin al-Rasyid al-Bakry al-Qafshy (685) “al-Mazhab Fi al-Dhabthi Qawa’id al-Mazhab”
Imam Juzaim, “al-Qawa’id” Syihabudin Abil Abbas Ahmad bin Idris al-Qarafy (abad 7) “Anwarul Furuq fi Anwa’il Furuq”
Ibnu Haris al-Husyni (w. 361 H), “Ushul al-Futiya fi al-Fiqh ’ala Mazhab al-Imam Malik”

Mazhab Syafi’iyyah

Imam Izzuddin bin al-Salam (660) “Qawaid al-Ahkam Fi Mashalih an-Anam”
Ibnu Wakil al-Syafi’i (w. 716 H) ,”al-Asybah wa al-Nazair”
al-Maqqari al-Maliki (w. 758 H), “al-Qawaid”
al-Ala’y al-Syafi’i (w. 761 H), “al-Majmu’u al-Mazhab fi Dhabthi Qawaid al-Mazhab”
Tajuddin al-Subky (w. 771 H), “al-Asybah wa al-Nazair”
Jamaluddin al-Isnawy (w. 772 H), “al-Asybah wa al-Nazair”
Badruddin al-Zarkasyi (w. 794 H), “al-Manstur fi al-Qawaid”
Ibnu Rajab al-Hanbaly (w. 795 H), “al-Qawaid fi al-Fiqh”
Ali bin Utsman al-Ghazi (w. 799 H), al-Qawaid fi al- Furu’

Mazhab Hambaliyah

Najmuddin ath-Thufy (717 H), “al-Qawaidul Kubro” dan “al-Qawaidul Shugro”
Abdur Rahman Rajab (w. 795 H), “Taqrir al-Qawaid wa Tahrir al-Fawaid” (disebut juga Ibnu Rajab al-Rahman, kitabnya memuat 160 kaidah)
Ibnu Qadhi al-Jabal (w. 771 H), “Al-Qawa’id al-Fiqhiyah”
 

REFERENSI
Usman MA, Drs. H. Mushlih. 1997. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
http://kozam.wordpress.com/2009/11/10/kaidah-kaidah-ushul-fiqh/
http://samhidayat.webs.com/samhidayat.htm
http://dauspmh.blogspot.com/2009/04/sejarah-pertumbuhan-perkembangan-dan.html?zx=a4f103a92e35e8d2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar