Cari Dari Blog Ini

Pages

KAIDAH / QOWA'ID FIQHIYYAH : Perbedaan dengan Ushuliyah, Sejarah dan Kitab Referensi

Rabu, 09 November 2011

PERBEDAAN ANTARA KAIDAH USHULIYYAH DENGAN KAIDAH FIQHIYYAH

Yang pertama kali membedakan kaidah ushul fiqh dan kaidah fiqh adalah al-Qurafi yang menyatakan bahwa syariah ada dua hal, yaitu: ushul fiqh dan kaidah kulliyah fiqiyah.
Persamaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqih terletak pada:
Keduanya memudahkan mujtahid untuk melakukan istinbath dan ijtihad hukum.
Keduanya merupakan prinsip umum yang mencakup masalah-masalah dalam kajian syari'ah.

Lebih jauh lagi Ali al-Nadwi memperinci perbedaan antara kaidah fiqh dan ushul fiqh, yaitu:
QU adalah pedoman untuk melakukan istinbath (pengambilan) hukum syar'iyah amaliah dari dalil (QU bukan suatu hukum, ia adalah alat untuk menuju kepada kesimpulan dari dalil suatu hukum syar'i). Sedangkan, QF adalah suatu susunan lafadz yang mengandung makna hukum syara’ aghlabiyyah/umum yang mencakup di bawahnya banyak furu'. QF adalah operasionalisasi dari QU.
Kaidah ushul dalam teksnya tidak mengandung asrarus syar'i (rahasia-rahasia syar'i) tidak pula mengandung hikmah syar'i. Sedangkan kaidah fiqih dari teksnya terkandung kedua hal tersebut.
Kaidah ushul kaidah yang menyeluruh (kaidah kulliyah) dan mencakup seluruh furu' di bawahnya. Sehingga istitsna'iyyah (pengecualian) hanya ada sedikit sekali atau bahkan tidak ada sama sekali. Berbeda dengan kaidah fiqih yang banyak terdapat istitsna'iyyah, karena itu kaidahnya kaidah aghlabiyyah (kaidah umum).
Kaidah ushul berdasar kepada tiga ilmu, yaitu : Ilmu Bahasa Arab, Ilmu Syari'ah dan Ilmu Mantiq. Adapun kaidah fiqih bermacam-macam sumbernya, dapat bersumber kepada Qur'an atau Sunnah, Ijma, kesimpulan induktif dan hukum-hukum ijtihad yang lainnya dengan dasar kesamaan dan kemiripan dalam kaidah.
Perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqih pun bisa dilihat dari maudhu'nya (objek). Jika Kaidah ushul maudhu'nya dalil-dalil hukum. Sedangkan kaidah fiqih maudhu'nya perbuatan mukallaf, baik itu pekerjaan atau perkataan. Seperti sholat, zakat dan lain-lain.
QU muncul sebelum furu'/fiqh (deduktif), sedangkan QF muncul setelah furu'/fiqh (induktif).

SEJARAH KAIDAH FIQH
Fase Pertumbuhan dan Pembentukan
Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama 3 abad lebih dari zaman kerasulan hingga abad ketiga hijrah, periode ini dari segi fase sejarah hukum Islam, yaitu: zaman Nabi Muhammad SAW yang berlangsung selama 22 tahun lebih (610 – 632 Masehi / 12 SH – 10 H), zaman Sahabat selama 90 tahun (633-723 M / 11-100 H), zaman Tabi'in serta Tabi'ut Tabi'in yang berlangsung selama 250 tahun (724 – 974 M / 100 – 351 H).
Masa ini diklasifikasikan sebagai ide dasar mengapa kemudian para Imam memandang perlunya dibentuk suatu ilmu Qowa’id Fiqhiyah. Allah memberikan karunia kepada Nabi, Sahabat dan Tabi’in berupa perkataan yang singkat dan padat tetapi sarat dengan makna (Jawami’il Kalim). Atas ciri dasar tersebut, ulama menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqh. Seperti, hadis yang berbunyi :
لا ضرر ولا ضرار
“Tidak boleh berbuat dharar terhadap diri sendiri dan orang lain”
البينة على المدعي واليمين على من انكر
“Bukti dibebankan bagi terdakwa sedangkan sumpah dibebankan kepada terdakwa”
مقاطع الحقوق عند الشروط
“Terputusnya (ketetapan) hak tergantung pada syarat”
Fase Perkembangan dan Kodifikasi
Dalam sejarah hukum Islam abad 4 H dikenal sebagai zaman taqlid, pada zaman ini, sebagian ulama besar melakukan tarjih pendapat madzhabnya masing-masing yang dilakukan ulama pengikut madzhab adalah Ilhaq (melakukan analogi).
Menurut Ibn Khaldun, ketika madzhab tiap imam fiqh menjadi imam khusus bagi para pengikutnya dan tidak ada jalan untuk melakukan ijtihad, maka ulama melakukan tandzir masalah yang dihubungkan serta memilahnya saat terjadi ketidakjelasan.
Dengan cara tandzir dan isytibah fiqh dikembangkan kemudian ulama melakukan cara-cara baru dalam ilmu fiqh yang disebut al-Qowaid, al-dhawabith atau al-furuq. Menurut Ibnu Nujaim, madzhab Hanafi dikenal sebagai aliran pertama yang memperkenalkan ilmu ini. Dikatakan bahwa Abu Thahir Al-Dabbas pada abad ke-4 hijriyah adalah orang pertama yang mengumpulkan paling tidak ada tujuh belas kaidah. Diantaranya adalah 5 Qowa’idul Kubro.
Dari kaidah-kaidah tersebut kemudian disempurnakan oleh Abu Hasan al-Karakhi (340 H). Kemudian pada abad ke-5 ada kitab “Ta’sisun Nadhar” karya Imam Abu Zaid al-Dabbusi (430 H) yang ditemukan, yang merupakan penambahan terhadap kaídah yang dikumpulkan oleh Abu Hasan al-Karakhi.
Penulisan ilmu kaidah ini mulai marak pada abad ke-7 H. Sehingga pada abad ke 8 H penulisan dan pembukuan kaidah fiqhiyah mencapai masa keemasan. dan Ulama syafi’iyyah dianggap paling produktif dalam hal ini.
Semangat pembukuan mencapai puncaknya pada abad ke-10 H, yaitu ketika masa al-Suyuthi (w. 910), dalam kitabnya al-Asybah wa al-Nazair ia mencoba menyederhanakan lagi kaidah-kaidah yang ditulis para pendahulunya, seperti al-Ala’y, al-Subky, al-Zarkasyi, yaitu kitab yang mermbahas tentang kaidah tetapi masih bercampur dengan kaídah ushul fiqh.

Periode Ketiga: Kematangan dan Penyempurnaan
Setelah melewati pembahasan singkat diatas maka sampailah pada suatu kesimpulan bahwa kaídah pada awalnya hanyalah sebuah wacana yang muncul dikalangan pembesar Tabi’in dan para Mujtahid, kemudian diterima dan diteruskan oleh oleh para pengikut dan pendukungnya. Sekalipun ditulis sejak lama kaidah fiqh masih bercampur dengan disiplin ilmu lainnya. Qaidah Fiqhiyyah ini mencapai kematangan setelah munculnya Majallah al-Ahkam al-Adliyyah pada akhir abad ke-13 yang juga digunakan sebagai sumber hukum dibeberapa Mahkamah. Majallat ini dikerjakan oleh tim ahli fiqh pada masa pemerintahan Sultan al-Ghazi Abdul Aziz Khan al-Utsmani, yaitu Lajnah Fuqoha Utsmaniah, para fuqoha merangkum dan memilih kaidah fiqh dari sumbernya Majmu Al-Haqa'iq dan Ibn Nujaim.


KITAB KAIDAH FIQH PADA TIAP MADZHAB
Mazhab Hanafiyah
Abu Thahir ad-Dibbas, 17 kaidah, disempurnakan oleh Imam Abu Hasan al-Karakhy menjadi 37 kaidah.
Imam Abu Zaid Abdullah Ibnu Umaruddin ad-Dabbusy al Hanafy, “Ta’sisun Nadhar” : kaidah fiqh dan perinciannya.
Zainal Abidin Ibnu Ibrahim al-Mishry (926-970), “al-Asyba’ wan Nadhoir” : 25 kaidah: 6 kaidah asasiyah, 19 kaidah memuat maudhu’ yang berbeda-beda dan keterangan mendetail dalam bentuk hukum furu’ yang praktis.
Ahmad Ibnu Muhammad al-Hamawy (abad 11), “Ghamzu Uyuil Bashair” : syarah kitab diatas. (Mushlish Usman, 1997: 101)

Mazhab Malikiyyah

Muhammad bin Abdullah bin al-Rasyid al-Bakry al-Qafshy (685) “al-Mazhab Fi al-Dhabthi Qawa’id al-Mazhab”
Imam Juzaim, “al-Qawa’id” Syihabudin Abil Abbas Ahmad bin Idris al-Qarafy (abad 7) “Anwarul Furuq fi Anwa’il Furuq”
Ibnu Haris al-Husyni (w. 361 H), “Ushul al-Futiya fi al-Fiqh ’ala Mazhab al-Imam Malik”

Mazhab Syafi’iyyah

Imam Izzuddin bin al-Salam (660) “Qawaid al-Ahkam Fi Mashalih an-Anam”
Ibnu Wakil al-Syafi’i (w. 716 H) ,”al-Asybah wa al-Nazair”
al-Maqqari al-Maliki (w. 758 H), “al-Qawaid”
al-Ala’y al-Syafi’i (w. 761 H), “al-Majmu’u al-Mazhab fi Dhabthi Qawaid al-Mazhab”
Tajuddin al-Subky (w. 771 H), “al-Asybah wa al-Nazair”
Jamaluddin al-Isnawy (w. 772 H), “al-Asybah wa al-Nazair”
Badruddin al-Zarkasyi (w. 794 H), “al-Manstur fi al-Qawaid”
Ibnu Rajab al-Hanbaly (w. 795 H), “al-Qawaid fi al-Fiqh”
Ali bin Utsman al-Ghazi (w. 799 H), al-Qawaid fi al- Furu’

Mazhab Hambaliyah

Najmuddin ath-Thufy (717 H), “al-Qawaidul Kubro” dan “al-Qawaidul Shugro”
Abdur Rahman Rajab (w. 795 H), “Taqrir al-Qawaid wa Tahrir al-Fawaid” (disebut juga Ibnu Rajab al-Rahman, kitabnya memuat 160 kaidah)
Ibnu Qadhi al-Jabal (w. 771 H), “Al-Qawa’id al-Fiqhiyah”
 

REFERENSI
Usman MA, Drs. H. Mushlih. 1997. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
http://kozam.wordpress.com/2009/11/10/kaidah-kaidah-ushul-fiqh/
http://samhidayat.webs.com/samhidayat.htm
http://dauspmh.blogspot.com/2009/04/sejarah-pertumbuhan-perkembangan-dan.html?zx=a4f103a92e35e8d2

KONSEP LIMA AKSIOMA MU’TAZILAH

Rabu, 10 Agustus 2011

MAKALAH KONSEP LIMA AKSIOMA MU’TAZILAH
(at-Tauhid, al-Adl, al-Wa’d wal Wa’id, al-Manzilah bainal Manzilatain dan al-Amr bil Ma’ruf wan Nahyu ‘an al-Munkar)
disusun untuk memenuhi tugas pada Mata Kuliah Pemikiran Islam
dosen pengampu : Drs. Suharjianto M.Ag
di susun oleh: ROIS MUHAMMAD ZAKY (I 000 090 024)
JURUSAN SYARI’AH FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010



BAB I  PENDAHULUAN

Mu’tazilah secara harfiah berarti kelompok yang terisolir. Ada berbagai analisa mengenai awal mula penyebutan Mu’tazilah kepada mereka. Uraian yang paling masyhur berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil bin ‘Atho’ dan Hasan al-Bashri karena pendapat al-manzilah bainal manzilatain. Wasil selalu mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan Hasan al-Bashri di mesjid Basrah. Kemudian suatu ketika ada yang bertanya mengenai orang yang berdosa besar. Sebelum Hasan al-Bashri menjawab Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan, “orang yang berdosa besar bukanlah mu’min dan bukan pula kafir, tetapi berposisi diantara keduanya, tidak mu’min tidak pula kafir (fasiq)”. Kemudian Wasil berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan al-Bashri. Atas peristiwa ini Hasan al-Bashri mengatakan, “Wasil menjauhkan  diri dari kita (i’tazala ‘annaa)”.
Menurut al-Bagdady dalam kitabnya (al-Farqu bainal Firaq) aliran Mu’tazilah terpecah-pecah menjadi 22 golongan, dua diantaranya dianggap telah keluar dari Islam. Meskipun terpecah-pecah, namun semuanya masih tergabung dalam kelima pokok ajaran mereka. Menurut Al-Khayyat dalam kitabnya Al-Intisar orang yang diakui menjadi penganut Mu’tazilah hanyalah orang yang mengakui dan menerima kelima dasar itu. Urutan menurut pentingnya kedudukan tiap dasar tersebut adalah Tauhid (pengesaan), Al-‘Adl (keadilan), Wa’d wal Wa’id (janji dan ancaman), Al-Manzilah bainal Manzilatain (tempat diantara dua tempat) dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar (perintah kebaikan dan melarang kejahatan).

BAB II  PEMBAHASAN

1.    Tauhid (Pengesaan Tuhan)
Tauhid adalah dasar islam pertama dan utama. Ajaran ini merupakan ajaran dasar yang terpenting. Sebenarnya tauhid ini bukan khusus milik golongan Mu’tazilah, tetapi karena mereka menafsirkannya sedemikian rupa dan mempertahankannya dengan sungguh-sungguh maka mereka terkenal sebagai ahli Tauhid. Tuhan dalam paham mereka akan betul-betul Maha Esa hanya kalau Tuhan merupakan suatu zat yang unik, tidak ada yang serupa dengan Dia. Oleh karena itu mereka benar-benar menolak penyerupaan Tuhan dengan makhlukNya (anthropomorphisme) dan menolak pula bahwa Tuhan dapat dilihat oleh mata kepala manusia.
 Allah adalah zat yang Maha Qadim, yang wajib diketahui melalui sifat-sifat yang layak dan mustahil untukNya. Tidak ada yang menandingi dan menyekutukanNya, baik melalui penafian maupun pembuktian sifat-sifatNya berdasarkan batasan yang layak untukNya.
Kaum Mu’tazilah membagi sifat-sifat Tuhan ke dalam dua golongan, yaitu:
a.       sifat-sifat yang merupakan esensi Tuhan yang disebut Sifat Dzatiyah
b.      sifat-sifat yang merupakan perbuatan Tuhan, disebut Sifat Fi’liyah
Dalam hal ini, sifat-sifat dzatiyah diantaranya adalah wujud, qidam, hayat, qudrot, dan sebagainya. Jadi hal-hal tersebut adalah esensi dari Tuhan. Bukan sifat-sifat yang mempunyai wujud sendiri di luar zat  Tuhan. Sedangkan sifat-sifat fi’liyah terdiri dari sifat-sifat yang mengandung arti hubungan antara Tuhan dengan makhlukNya, seperti iradah, kalam, al ‘adl dan sebagainya.
Al-‘Asy’ari menyebutkan tafsiran Mu’tazilah terhadap tauhid sebagai berikut:
“Tuhan itu Esa, tidak ada yang menyamai-Nya, bukan benda (jism), bukan orang (syakhs) bukan jauhar, bukan pula aradl. tidak berlaku pada-Nya. tidak mungkin mengambil tempat (ruang), tidak bisa disifati dengan sifat-sifat yang ada pada makhluk yang menunjukkan ketidak azalian-Nya. tidak dibatas, tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan. tidak dapat dicapai pancaindera. tidak dapat dilihat oleh mata kepala dan tidak bisa digambarkan akal pikiran. Ia Maha Mengetahui, berkuasa dan hidup, tetapi tidak seperti orang yang mengetahui, orang yang berkuasa dan orang yang hidup. Hanya Ia sendiri yang qadim, dan tidak ada lain-Nya yang qadim. Tidak ada yang menolong-Nya dalam menciptakan apa yang diciptakan-Nya dan tidak menciptakan makhluk karena contoh yang telah ada terlebih dahulu”.

2.    Al-‘Adl (Keadilan)
Ajaran al-‘adl ada hubungannya dengan at-Tauhid. Kalau dengan at-Tauhid kaum Mu’tazilah ingin mensucikan diri Tuhan dari persamaan dengan makhluk, maka dengan al-‘adl mereka ingin mensucikan perbuatan Tuhan dari persamaan dengan perbuatan makhluk. Hanya Tuhan lah yang berbuat adil; tuhan tidak pernah berbuat dzalim, sedangkan pada makhluk terdapat perbuatan dzalim. Seluruh perbuatan Allah adalah baik, Dia tidak akan melakukan perbuatan buruk, tidak akan kehilangan apa yang wajib bagiNya, tidak akan berdusta dalam beritaNya, tidak akan dzalim dalam hukumNya dan tidak akan memberikan taklif kepada manusia yang tidak mampu memikulnya, dan berarti Allah memberikan kemampuan kepada mereka untuk dapat memikul beban tersebut. Dengan kata lain, at-Tauhid membahas keunikan zat Allah dan al-‘adl membahas keunikan perbuatan Allah.
Semua perbuatan Tuhan bersifat baik. Ekspresi ini menurut kaum Mu’tazilah belum cukup untuk mengekspresikan ke-Maha Baik-an Tuhan. Oleh karena itu mereka mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan untuk mendatangkan yang baik, bahkan yang terbaik untuk manusia. Al-‘Asy’ari menyebutkan, golongan Mu’tazilah menafsirkan keadilan tersebut sebagai berikut:
“Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak mencipta perbuatan manusia; manusia bisa mengerjakan perintah-perintahNya dan meninggalkan larangan-laranganNya, karena qodrat (kekuasaan) yang dijadikan Tuhan pada diri mereka. Ia tidak memerintah kecuali apa yang dikehendakiNya dan tidak melarang kecuali apa yang dilarangNya. Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkanNya dan tidak tahu menahu (bebas) dari keburukan-keburukan yang dilarangNya”.
Dengan dasar keadilan ini terbentuklah paham Mu’tazilah mengenai konsep perbuatan manusia.

3.    Al-Wa’d wal Wa’id (Janji dan Ancaman)
Al-Wa’d ialah setiap berita yang berisi pemberitahuan manfaat kepada yang lain, sesuatu yang baik dan layak bagi penerima janji tersebut. Seperti pahala yang dijanjikan Allah pada orang yang taat, maka berarti suatu hak bagi mereka, Allah menjanjikan kemuliaan kepada mereka. Sedangkan al-Wa’id adalah berita yang berisi pemberitahuan bahaya kepada yang lain, atau pencabutan manfaat darinya pada waktu yang akan datang.
Prinsip ini adalah kelanjutan prinsip keadilan yang harus ada pada Tuhan. Golongan Mu’tazilah yakin bahwa janji Tuhan untuk memberikan pahala dan ancamanNya untuk menjatuhkan siksa atau neraka itu pasti dilaksanakan, karena Tuhan sudah menjanjikan demikian. Siapa yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan dan siapa yang berbuat kejahatan akan dibalas dengan kejahatan pula. Tidak ada pengampunan terhadap dosa besar tanpa taubat sebagaimana tidak mungkin orang yang berbuat baik dihalang-halangi menerima pahala. Pendapat golongan Mu’tazilah tersebut merupakan tolak belakang dari pendapat golongan Murji’ah sebagaimana ketaatan tidak akan berguna di samping kekafiran. Kalau pendapat ini dibenarkan, maka ancaman Tuhan tidak akan ada artinya sama sekali, suatu hal yang mustahil ada pada Tuhan.

4.    Al-Manzilah bainal Manzilatain (Tempat Diantara Dua Tempat)
Prinsip ini, posisi menengah bagi pembuat dosa besar, juga erat hubungannya dengan keadilan Tuhan. Orang yang berbuat dosa besar selain syirik, tidaklah termasuk orang mu’min karena imannya tidak lagi sempurna, dan tidak pula kafir karena ia masih bersyahadat, percaya kepada Allah dan Nabi Muhammad SAW. Karena bukan mu’min, ia tidak dapat masuk syurga, dan karena bukan kafir pula, ia sebenarnya tak mesti masuk neraka. Ia seharusnya ditempatkan diluar syurga dan neraka. Inilah sebenarnya keadilan. Tetapi karena di akhirat tidak ada tempat selain syurga dan neraka, maka pembuat dosa besar harus dimasukkan kedalam salah satu dari tempat ini. Penentuan tempat ini banyak hubungannya dengan paham Mu’tazilah tentang Iman. Iman bagi mereka digambarkan bukan hanya  oleh pengakuan dan ucapan lisan saja, tetapi juga oleh perbuatan-perbuatan. Dengan demikian pembuat dosa besar adalah dalam keadaan tidak beriman. Sehingga harus ditempatkan di neraka. Tetapi tidak adil kalau ia mendapat siksaan yang sama berat dengan kafir, tetapi mendapat siksa yang lebih ringan. Inilah posisi fasiq yang menurut Mu’tazilah berada pada posisi tengah antara mu’min dan kafir, dan itulah pula keadilan.
Jadi kefasikan adalah suatu hal yang berdiri sendiri antara iman dan kafir. Tingkatan orang fasik dibawah orang mu’min dan diatas orang kafir. Jalan tengah ini diambilnya dari:
1.    Ayat-ayat Quran Hadits-hadits yang menganjurkan kita mengambil jalan tengah dalam segala sesuatu.
2.    Pikiran-pikiran Aristoteles yang mengatakan bahwa keutamaan (fadlilah; virtue) ialah jalan tengah antara dua jalan yang berlebih-lebihan.
3.    Plato yang mengatakan bahwa ada suatu tempat diantara baik dan buruk. (A.Hanafi : 1993)
Golongan Mu’tazilah membagi pula dosa kepada dua bagian, yaitu besar dan kecil. Dosa besar dibagi dua :
a)    Yang merusak dasar agama, yaitu syirik (mempersekutukan Tuhan) dan orang yang mengerjakannya menjadi kafir.
b)   Yang tidak merusak dasar agama, mengerjakannya bukan lagi orang mu’min karena ia melanggar agama, juga tidak menjadi kafir, karena ia masih mengucapkan syahadat. Karenanya ia menjadi orang fasik.

5.    Amar Ma’ruf Nahi Munkar (perintah kebaikan dan melarang kejahatan)
Prinsip ini lebih banyak berhubungan dengan taklif dan lapangan fiqih daripada lapangan kepercayaan atau tauhid. Memerintah berbuat baik dan melarang berbuat jahat harus dijalankan oleh setiap orang Islam untuk penyiaran agama dan memberi petunjuk kepada orang-orang yang sesat. Banyak ayat-ayat Quran yang memuat prinsip ini, antara lain surat Ali Imran ayat 104 dan Luqman ayat 17. Prinsip ini dianggap sebagai kewajiban bukan oleh kaum Mu’tazilah saja, tetapi juga oleh golongan umat Islam lainnya. Perbedaan yang terdapat antara golongan-golongan itu adalah tentang pelaksanaannya. Apakah cukup dijalankan dengan seruan saja atau perlu dengan paksaan dan kekerasan. Kaum khawarij memandang bahwa untuk itu perlu kekerasan. Kaum Mu’tazilah berpendapat kalau bisa cukup dengan seruan, tetapi kalau perlu dengan kekerasan. Sejarah menunjukkan betapa hebatnya golongan Mu’tazilah mempertahankan Islam terhadap kesesatan-kesesatan yang tersebar luas pada permulaan masa Abbasiy, yang hendak menghancurkan kebenaran-kebenaran Islam, bahkan Mu’tazilah tidak segan-segannya menggunakan kekerasan dalam melaksanakan prinsip tersebut, meskipun terhadap golongan Islam sendiri, sebagaimana yang pernah dialami golongan ahli Hadits dalam masalah al-Quran. Menurut orang Mu’tazilah orang yang menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus dibenarkan.
 
BAB III  PENUTUP DAN TAMBAHAN
Menurut Harun Nasution, Mu’tazilah ini sekarang sudah hilang bentuknya dan hanya ada dalam sejarah saja. Aliran Mu’tazilah masih dipandang sebagai aliran yang menyimpang dari Islam, terutama di Indonesia. Pandangan ini hadir karena anggapan bahwa Mu’tazilah tidak percaya kepada wahyu dan hanya mengakui kebenaran yang diperoleh dengan perantaraan rasio. padahal sebenarnya kaum Mu'tazilah tidak hanya memakai argumen rasionil, tetapi juga memakai ayat-ayat al-Quran dan Hadits nabi untuk mempertahankan pendirian mereka.
Kaum Mu’tazilah tidak disukai karena sikap mereka yang memakai kekerasan dalam menyiarkan ajaran-ajaran mereka dipermulaan abad ke sembilan masehi. Paradigma tentang kaum Mu’tazilah ini terbentuk karena buku-buku mereka tidak dibaca dan dipelajari lagi. Yang banyak dibaca hanyalah buku-buku teologi yang dikarang oleh pengikut-pengikut al-Asy’ari dan al-Maturidi. Padahal tulisan-tulisan mereka tentang ajaran Mu’tazilah ini tidak selamanya bersifat objektif. Bahkan diantara pengarang ituada yang tak segan-segan mencapkaum Mu’tazilah sebagai golongan kafir.
Tetapi atas pengaruh Jamaludin al-Afgani dan Syeikh Muhammad Abduh, sebagai dua pemimpin mosernisme yang utama dalam Islam, keadaan tersebut mulai berubah. Telah ada pengarang-pengarang, bahkan alim ulama yang membela kaum Mu’tazilah. Seperti An-Nasysyar, guru besar Falsafat Islam Universitas Alexandria yang menulis tentang An-Nazzam, seorang pemuka kaum Mu’tazilah, bahwa kebanyakan pemikir Ahli Sunnah menyerang An-Nazzam dan menganggapnya sebagai seorang atheis besar. Ia mereka gambarkan sebgai orang yang tanggelam dalam maksiat. Kita tidak bisa cepat-cepat percaya pada tuduhan-tuduhan serupa ini. Kaum Mu’tazilah terkenal sebagai orang-orang yang zahid, bertakwa dan banyak beribadat. Ia berpendapat bahwa An-Nazzam adalah seorang yang shadiq yang banyak usahanya dalam membela Islam.
Ahmad Amin berpendapat bahwa kaum Mu’tazilah lah yang pertama kali memakai senjata yang dipergunakan lawan-lawan Islam dari  golongan Yahudi, Kristen,Majusi dan Materialis dalam menangkis serangan-serangan terhadap Islam dipermulaan kerajaan Bani Abbas. Masih menurut Ahmad Amin, sebenarnya hanya merekalah yang memikul beban tersebut. Dalam pendapatnya, malapetaka terbesar yang menimpa umat Islam adalah lenyapnya kaum Mu’tazilah. Seandainya ajaran-ajaran mereka dijalankan sampai hari ini, kedudukan umat Islam di dunia akan berlainan sekali dengan sekarang. Sikap lekas menyerah (pada nasib) membuat umat Islam menjadi lemah sikap tawakal membuat mereka dalam senantiasa dalam keadaan statis.
Adapula Syekh ‘Ali Mustafa al-Ghurabi, guru besar Fakultas Syari’ah di Mekkah menulis bahwa, “Jika sekiranya tidak ditakdirkan Tuhan bahwa kaum Mu’tazilah bangkit untuk memberla Islam, 'Ilmu Kalam dengan kekayaannya yang besar itu tidak akan muncul, dan tidak akan sanggup membela Islam dari serangan-serangan orang luar. Terhadap usaha-usaha kaum Mu’tazilah yang patut disyukuri itu, kita hanya dapat berdo’a semoga Allah memaafkan kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan. Penuh harapan saya agar para ulama yang mempunyai keikhlasan terhadap agama Islam, berusaha menimbulkan kembali peninggalan-peninggalan berharga dari golongan umat Islam yang telah dilupakan ini.”
Kembali lagi kepada pembahasan aksioma Mu’tazilah diatas, kelima prinsip tersebut diatas merupakan dasar utama yang harus dipegangi oleh setiap orang yang mengaku dirinya Mu’tazilah dan sudah menjadi kesepakatan mereka semua. Akan tetapi mereka berselisihan pendapat tentang soal-soal kecil lainnya, yaitu ketika memperdalam pembahasan kelima prinsip tersebut dan menganalisanya yang didasarkan atas pikiran-pikiran filsafat Yunani dan lain-lainnya. Karena itu sebenarnya tidak terdapat kesatuan aliran yang disebut aliran Mu’tazilah, tetapi yang ada ialah bermacam-macam aliran yang timbul dan berkembang sekitar orang-orang tertentu, sebagaimana halnya dengan bermacamnya aliran filsafat, seperti : Stoi, Epicurus, Phytagoras dan lain-lain yang kesemuanya dinamakan filsafat Yunani.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hanafi M.A. 1993. Theologi Islam (Ilmu Kalam). Bulan Bintang : Jakarta.
Muh. Maghfur. 2002. Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam.Al-Izzah : Bangil.
Harun Nasution. 1986. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa dan Perbandingan. UI Press : Jakarta